Feature

Saturday, January 19, 2013

CUKUPLAH MENJADI ANAK YANG BERBAKTI KEPADA ORANG TUA



Hujan masih cukup deras ketika sore itu aku duduk-duduk berdua dengan ibuku. Kami berbincang-bincang panjang lebar. Tentang kuliahku, pekerjaanku, kegiatanku, cita-cita dan rencana masa depanku. Ibu sangat antusias mendengarkanku, kulihat pancaran raut bahagia dari wajahnya.
Awal Desember tahun lalu, sengaja kusempatkan pulang ke Jogja ditengah-tengah kesibukanku dan seabrek tugas-tugasku. Aku sangat merindukannya. Seminggu aku di rumah, namun belum cukup untuk mengobati kerinduanku yang sangat dalam padanya.
Kemudian, kudengar untaian nasehat-nasehat dari ibuku. Begitu tulus dan penuh pengharapan. InsyaAllah bu...mohon doanya selalu agar aku bisa menjadi seperti yang ibu harapkan. Yaitu menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua.
Ah ibu...kau tidak mengharapkanku menjadi orang yang sukses dan kaya raya. Kau tidak mencita-citakanku menjadi dokter, pengusaha, atau profesi lainnya yang dapat menghasilkan banyak uang. Tidak seperti kebanyakan orang tua jaman sekarang yang mengharapkan anak-anaknya bahagia dengan bergelimangan harta.
Sejenak kami terdiam. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Entah apa yang sedang dipikirkan ibuku. Aku sendiri sedang memikirkan bagaimana kelak aku akan membahagiakan orang tuaku. Kemudian, mulai ibu menceritakan beberapa kisah kepadaku...
Kisah pertama, tentang seorang nenek yang sudah sangat tua renta. Mungkin usianya sudah lebih dari 80 tahun. Rumahnya tidak begitu jauh dari rumahku, kira-kira berjarak 100 meter. Nenek tua itu sebenarnya memiliki beberapa orang anak. Dua diantaranya tinggal di kampung sebelah. Semua anaknya sudah berkeluarga dan juga sudah mempunyai anak. Tapi nenek tua itu hanya tinggal sendirian di rumahnya. Sebuah rumah kecil yang sebenarnya lebih pantas disebut gubuk. Tinggal sendiri, masak sendiri, dan mengerjakan semua hal sendirian. Padahal nenek itu sudah sakit-sakitan. Ketika  gempa hebat meluluhlantakkan kotaku 7 tahun silam, nenek itu juga menjadi korban dan menderita luka yang cukup serius. Tubuhnya menjadi semakin lemah, ditambah lagi usianya yang semakin tua. Tapi begitu tega anak-anak dan cucu-cucunya membiarkannya hidup dan tinggal sendirian di rumahnya.
Suatu hari, ibuku melihat nenek tua itu sedang duduk dengan berselonjor kaki di sebuah pos ronda di kampung kami. Rambut putihnya terurai berantakan menutupi wajah dan kepalanya. Sambil membawa beberapa botol bekas air mineral, nenek itu mulai berjalan. Bukan....bukan berjalan dengan kedua kakinya. Tapi cara jalannya kini sudah ngesot karena tak mampu lagi berdiri.  Karena tak tega melihatnya, ibuku segera  mendatangi salah satu anaknya yang tinggal di kampung sebelah. Ibuku memberi tahu keadaan ibunya saat itu. Segera anaknya menjemput nenek tua itu, kemudian dibawa pulang kerumahnya, dibersihkan dan dimandikan. Tak lama setelah kejadian itu, sang nenek meninggal dunia.
Ibuku pun berpikir, “Apakah ketika ibu tua nanti ibu akan mengalami nasib sama seperti nenek tua yang malang itu?”
Kukatakan padanya, “Ibu masih punya aku yang akan selalu menjaga ibu. Yang selalu ingin melihat ibu bahagia. Tentu saja tak akan kubiarkan ibu mengalami seperti apa yang dialami nenek tua itu.”
Kisah kedua, tentang seorang ibu yang sudah cukup tua. Rumahnya tepat di belakang rumahku, hanya dibatasi sebuah jalan kampung yang tidak terlau lebar dan kebun kelapa yang tidak begitu luas. Kalau aku sedang berada di dapur dan kubuka pintu atau jendela, langsung aku bisa melihat rumahnya. Kadang kulihat ibu itu sedang duduk-duduk sendirian di depan rumahnya. Atau sedang berdiri berjalan-jalan di sekitar rumahnya, atau entah apa yang sedang dia lakukan.
Ibuku menceritakan keadaannya saat ini. .
Semua anak-anaknya sudah menikah dan tinggal dengan keluarganya masing-masing di daerah yang cukup jauh dari kampung kami. Hanya tinggal seorang anak laki-lakinya yang paling bungsu saja, yang walaupun sudah menikah dan punya anak namun tetap tinggal di kampung kami. Rumahnya tepat di samping rumah ibunya.  Pada awalnya mereka tinggal serumah. Tapi lama kelamaan, sang anak dan istrinya memutuskan untuk membagi rumah yang mereka tinggali menjadi dua. Dan sejak itu, sang ibu tinggal sendirian di salah satu bagian rumahnya. Semuanya kini menjadi masing-masing. Sang anak dan istrinya pun mulai kurang memperhatikan ibunya.
Karena sudah cukup tua dan tidak mempunyai penghasilan tetap karena memang tidak bekerja, dan anakpun sudah mengurangi perhatian kepadanya, ibu itu hanya mengandalkan sepetak sawah yang masih dimilikinya untuk menyambung hidup. Sawah yang dimilikinya disewakan kepada orang lain yang masih kuat untuk menggarapnya. Dan hasil panennya di bagi dua.
Lama-lama, anak dan menantunya seolah-olah sudah benar-benar lupa bahwa orang tua yang tinggal di samping rumah mereka adalah ibu mereka. Sang ibu punya uang atau tidak, ada makanan atau tidak, sepertinya sudah bukan urusan mereka lagi.
Suatu hari, sang menantu mengadakan acara dengan keluarganya. Semua keluarganya datang. Orang tua, paman, bibi dan saudara-saudaranya. Beraneka macam makanan telah disiapkan. Tapi si ibu tua itu tidak diundangnya.
“Sakit hati saya.” Kata ibu itu suatu ketika berbincang-bincang dengan ibuku.
“Dianggap apa saya ini?”
Tentu bukan karena tidak bisa ikut merasakan enaknya makanan yang dihidangkan di acara itu sang ibu bersedih.
Suatu ketika ibu itu sakit. Diare dan muntah-muntah hingga tubuhnya lemas. Tak ada kelihatan anak atau menantunya membantunya mencuci pakaian yang kotor karena sang ibu yang tak mampu menahan buang-buang air dan merasa sangat lemah untuk berjalan ke kamar mandi. Ketika ibuku menjenguknya, ibu itu meminta tolong kepada ibuku untuk membelikannya beberapa stel pakaian karena pakaiannya sudah habis dipakai dan belum mampu untuk mencuci karena masih merasa sangat lemah.
Setelah merasa lebih baik, ibu itu ingin makan daging ayam. Diberinya anaknya uang 20 ribu dan memintanya tolong untuk membelikannya daging ayam. Setelah berhari-hari, belum juga anaknya sempat untuk membelikan apa yang diinginkan ibunya. Ketika ibu itu menanyakan pesanannya, anaknya menjawab bahwa uang yang diberikan kepadanya dipakai untuk jajan cucu-cucunya. Akhirya karena tak lagi mempunyai uang, ibu itupun menahan keinginannya untuk makan ayam.
Menangis ibuku mendengarkan cerita ibu itu. Kembali beliau berkata, ““Apakah ketika ibu tua nanti ibu akan mengalami nasib sama seperti ibu  yang malang itu?”
“Jadilah anak yang berbakti kepada ibu dan ayahmu. Hanya itu yang ibu harapkan.”
InsyaAllah bu, aku akan berusaha menjadi anak yang berbakti kepada kalian berdua.
Allahummaghfirliy, waliwalidayya, warhamhuma kama robbayaniy shoghiro...Amin.

No comments:

Post a Comment

Jika ada kesalahan silahkan tulis dalam kotak komentar dan terimakasih.